Senin, 10 Juli 2017

Simbolisasi Moralitas yang Tercermin Melalui Penokohan dalam Naskah Drama Sidang Susila

Simbolisasi Moralitas yang Tercermin Melalui Penokohan dalam Naskah Drama Sidang Susila

Oleh :

Ika Rahma Maulidina Yuliastuti
Departemen Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga

Pendahuluan
Naskah drama “Sidang Susila” merupakan buah karya Ayu Utami dan Agus Noor. Lakon ini dipentaskan secara perdana oleh Teater Gandrik di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 21-23 Februari 2008.
Sidang Susila merupakan sebuah lakon yang mengusung tema besar mengenai moralitas. Lakon ini mengandung banyak simbolisasi dan metafora di dalamnya yang menggambarkan sebuah upaya yang bertujuan untuk memonopoli kebenaran moral. Lakon ini juga menggambarkan kondisi suatu bangsa dimana nilai moralitas menjadi sesuatu yang sensitif. Tokoh jaksa dan hakim yang seharusnya bertugas untuk menggunakan wewenangnya dengan baik untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, dalam naskah ini digambarkan mereka menyelewengkan wewenangnya untuk kepentingannya pribadi, dengan sengaja menyalahkan terdakwa. Hal ini tentunya sangat berlawanan. Tokoh Susila, yang merupakan terdakwa, digambarkan bersalaah karena dianggap melanggar Undang-undang Susila. Tuduhan itu disematkan kepadanya sebagai bentuk penegakan terhadap Undang-undang Susila. Padahal, tuduhan itu hanya dibuat untuk kepentingan beberapa golongan saja, dengan mengatas namakan moralitas.

Sastra dan Simbolisasi dalam Karya Sastra
Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 1989 : 3).
Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di alam semesta, bahkan menyempurnakannya. (Luxemburg, dkk, 1984 : 5).
Berdasarkan dua konsep di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa karya sastra merupakan bagian dari karya seni yang terbentuk karena kreativitas. Dapat pula berarti bahwa karya sastra merupakan sebuah proses penciptaan dan penyempurnan. Dalam prosesnya itu, sang seniman tentunya tetap mempertahankan nilai estetika dari karya sastranya. Unsur kreativitas dan spontanitas – biarpun tidak terang-terangan – dewasa ini pun masih sering dijadikan pedoman (Luxemburg, dkk, 1984 : 5).
Drama merupakan salah satu dari tiga jenis sastra. Dua jenis lainnya adalah prosa dan puisi. Selain merupakan jenis sastra, drama juga merupakan sebuah seni pertunjukan. Drama dinilai sebagai sastra melalui naskah drama yang akan dipentaskan. Sedangkan drama dinilai sebagai seni pertunjukan dari segi pementasan naskah tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah dalam pementasan drama. Perbedaan drama dengan kedua jenis lainnya terletak pada fungsi atau tujuannya. Jika karya sastra prosa dan puisi ditulis untuk dinikmati sebagai teks, maka karya sastra naskah drama ditulis untuk dipanggungkan atau dipentaskan.
Layaknya dua jenis sastra lainnya, naskah drama juga memiliki nilai estetika. Nilai estetika ini dapat dilihat dari gambaran penokohan, narasi, kramagung, maupun dialog-dialog tokoh dalam naskah itu. Karena nilai estetik yang terdapat di dalamnya, karya sastra berupa naskah drama ini perlu dikupas lebih dalam untuk memahami makna di balik karya tersebut. Karya sastra memiliki banyak makna yang terselubung di balik simbol-simbol yang diutarakan oleh sang seniman. Hal itulah yang menjadikan sebuah karya sastra berbeda dengan karya nonsastra. Dalam penelitian sastra yang bersifat hermeneutik (menerangkan teks) penafsiran serta penilaian terhadap karya-karya sastra sendiri-sendiri justru menjadi kancah perhatian (Luxemburg, dkk, 1984 : 3).

Garis Besar Naskah Drama Sidang Susila
Dalam drama Sidang Susila, suasana yang dihadirkan adalah suasana politik suatu negeri yang sedang panas karena masalah moralitas dan nilai-nilai kesusilaan. Disebutkan dalam sebuah laman web Agus Noor, garis besar lakon “Sidang Susila adalah sebagai berikut :
Undang-Undang Susila – yang mengatur soal moralitas dan susila masyarakat – ditetapkan secara sah dan meyakinkan. “Dengan berlakunya Undang-undang Susila ini, maka secara konstitusional kita telah menjadi bangsa yang bermoral dan bertata susila,” demikian ditegaskan oleh tokoh Jaksa. Maka segeralah disusun Garis-garis Besar Haluan Moral Negara, dimana segala macam bentuk pornografi dan pornoaksi akan dihapuskan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Orde moral atau rezim susila pun mulai mencengkeram dan menyeramkan.
Terjadilah penangkapan besar-besaran terhadap orang-orang yang dianggap asusila. Orang-orang yang dituduh menyebarkan pornografi pornoaksi, langsung diringkus. Bahkan, orang-orang yang dianggap menyimpan pikiran-pikiran mesum pun ditangkapi. Salah satu yang ditangkap dan menjadi pesakitan itu adalah Susila Parna, seorang penjual mainan berbadan gendut dengan susu kimplah-kimplah. Dia dituduh mempertontonkan tubuhnya yang sensual, ketika ia membuka baju karena kepanasan sehabis ikut tayuban.
Segera Susila di sidang, diperlakukan sebagai pesakitan yang menjijikkan. Dia dianggap lebih berbahaya dari psikopat. Susila didakwa berlapis-lapis, agar masyarakat tahu betaba berbahayanya penjahat susila seperti dia. Tapi sesuatu terjadi diluar rencana. Banyak masyarakat yang kemudian menjadikan Susila sebagai ikon perlawanan. Susila dianggap pembangkang yang berani menentang Undang-undang Susila. Alih-alih menjadi pesakitan, dimata sebagian orang, Susila malah dianggap idola.
Para tokoh yang berkuasa kemudian menyebut-nyebut beberapa organisasi perlawanan, berada di balik semua gerakan perlawanan itu. Ada dua organisasi perlawanan yang dianggap menjadi biang kerusuhan moral, yakni GAM (Gerakan Anti Moralitas) dan OPM (Organisasi Pendukung Maksiat) yang dianggap sebagai kelompok-kelompok ekstrim yang asusila. Kepanikan kian memuncak ketika Susila Parna dikabarkan kabur, menghilang dari selnya. Operasi pencarian dan penangkapan pun kian diintensifkan. Setiap orang yang tertangkap dituduh menjadi bagian organisasi terlarang itu. Mereka kemudian dianggap sebagai penjahat moral menjijikkan yang terus-menerus merongrong stabilitas moral negara. Hingga para warga takut berhubungan dengan para pesakitan itu, takut terkena stigma tidak bersih lingkungan dan kehilangan pekerjaan.
Di balik semua gegap-gempita itu, konflik kepentingan bermunculan. Semua tokoh – seperti Hakim, Jaksa, Pembela, Kepala Keamanan – berusaha mencari kesempatan dari “poyek susila” itu. Bahkan sebagian dari mereka berusaha menyembunyikan perilaku amoral dan asusila mereka dengan kepura-puraan yang adil dan beradab. (Noor, https://agusnoorfiles.wordpress.com/2007/12/12/segera-sidang-susila-teater-gandrik/, akses 25 Juni 2017)

Simbolisasi yang Terdapat dalam Penggambaran Tokoh dalam Naskah
1.      Simbolisasi yang Terdapat dalam Penggambaran Tokoh Susila
Dalam lakon, digambarkan bahwa Susila adalah seorang penjual mainan anak-anak keliling yang bertubuh tambun. Susila ditangkap setelah ikut manari tayub dan duduk dengan membuka baju karena kelelahan dan kepanasan. Tokoh Susila dalam lakon iniditangkap karena dituduh melanggar Undang-undang Susila karena melakukan pornoaksi dan pornografi di hadapan publik. Ia dituduh mempertontonkan tubuhnya yang sensual. Tentunya hal ini berseberangan dengan makna kata “susila” yang sesungguhnya. Kata susila bermakna sopan dan beradab. Sedangkan perbuatan yang dituduhkan pada tokoh Susila, sangat jauh dari makna kata tersebut.
Pada adegan interogasi antara Susila dengan Petugas Keamanan, disebutkan bahwa nama lengkap Susila adalah Susila Parna. Meskipun namanya terdengar seperti nama orang Sunda, ia mengaku berasal dari Jawa, dan di Jawa namanya diucapkan sebagai Susilo Porno atau Susilo Parno. Kata “porno” sendiri mengacu pada sesuatu yang cabul, dan bersifat erotis. Sedangkan kata “parno” mengacu pada sifat paranoid, sebuah penyakit jiwa yang membuat penderita memikirkan sesuatu yang bersifat khayal secara berlebihan. Penggunaan bahasa-bahasa yang dipelesetkan ini mengandung sindiran akan kondisi kesopanan yang sudah dinodai oleh sesuatu yang tidak seharusnya. Menunjukkan bahwa saat ini, kesopanan sudah menurun nilainya dalam masyarakat. Masyarakat dibayangioleh sifat paranoid yang berlebihan terhadap nilai-nilai susila sehingga nilai moralitas menjadi sesuatu yang sangat sensitif.
Tokoh Susila memiliki sifat yang polos, lugu, namun teguh pada pendiriannya. Sifat lugunya terlihat saat ia bertemu deengan Utami, keponakannya yang akan menjadi pembelanya dalam persidangan. Utami menegaskan pada Susila untuk tidak menunjukkan sikap yaang dapat membocorkan identitasnya bahwa ia masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Susila. Namun karena keluguannya dan didukung kegembiraan Susila yang meluap, ia tidak mengerti permintaan keponakannya itu. Ia tetap memanggil Utami dengan sebutan”nduk”, bahkan selama persidangan.
Sifatnya yang teguh pada pendirian terlihat saat Susila tidak terima dituduh bersalah dan tidak mau disuruh membuat pengakuan palsu oleh petugas keamanan, karena ia memang merasa tidak bersalah. Susila juga memiliki sifat yang kritis, terlihat dari caranya menyampaikan argumen dalam persidangan kepada hakim, jaksa dan pembela. Hal ini mencerminkan dan mengajarkan sikap untuk tetap gigih membela kebenaran, meskipun sedang dalam kondisi terpuruk.
Namun, Susila juga disebut sebagai seorang pesakitan oleh para petugas keamanan, jaksa dan hakim. Ungkapan pesakitan ini merupakan bentuk peyorasi dari kata terdakwa. Maknanya, Susila dianggap sebagai manusia yang sangat rendah dan tidak dihargai kemanusiaannya. Meski demikian, Susila tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut.
2.      Simbolisasi yang Terdapat dalam Penggambaran Tokoh Petugas Keamanan
Sifat petugas keamanan yang paling menonjol terlihat dari cara mereka memperlakukan Susila. Petugas yang menjaga sel Susila dinilai terlalu berlebihan dalam menghadapi Susila. Seperti contohnya saat Susila merasa kelaparan dan meminta makan. Petugas itu tidak berani menyerahkan langsung ransum pada Susila karena takut tertular. Mereka menggunakan tongkat panjang untuk memberikan ransum pada Susila. Bahkan, ketika tubuh mereka terpaksa bersentuhan dengan Susila,mereka harus menyemprotkan antiseptik agar tidak tertular virus porno dari Susila. Padahal Susila belum mendapatkan pernyataan resmi bersalah. Tentu perbuatan seperti ini dianggap sangat berlebihan dan tidak berperikemanusiaan. Para petugas juga tidak memperlakukan Susila dengan baik dalam adegan interogasi. Pernyataan Susila tampak tidak disimak dengan baik oleh para petugas itu, sehingga terjadi kesalahpahaman. Bahkan saat Susila berusaha meluruskan kesalahpahaman itu, para petugas itu tidak mengindahkannya dan menganggap apa yang mereka tangkap adalah fakta yang paling benar, dan Susila hanya berusaha membelot.
Hal ini menggambarkan kondisi masyarakat yang cenderung memberikan sebuah justifikasi dan stereotip yang berlebihan terhadap sesuatu yang masih belum tentu keebenarannya. Ketakutan ini menggambarkan bahwa masyarakat masih melihat dari satu sisi yang paling menonjol menurut mereka, dan tidak berpikir untuk mencari konfirmasi apakah informasi itu benar atau tidak sehingga timbullah suatu bentuk pengucilan dari masyarakat. Sifat masyarakat yang seperti ini, tak jarang pula melukai perasaan pihak yang dikucilkan.
Selain itu, Susila juga disebut sebagai seorang pesakitan oleh para petugas keamanan, jaksa dan hakim. Ungkapan pesakitan ini merupakan bentuk peyorasi dari kata terdakwa. Maknanya, Susila dianggap sebagai manusia yang sangat rendah dan tidak dihargai kemanusiaannya.
Para petugas keamanan ini mengikuti perintah dari Hakim dan Jaksa. Terdapat satu adegan dimana Petugas Kepala bersekongkol dengan Hakim untuk membujuk Susila agar mau membuat pengakuan palsu, namun Susila tidak mau karena ia merasa tidak bersalah. Hal itu menggambarkan kegigihan dalam membela kebenaran.
Para petugas juga bersekongkol dengan Mira, seorang penari tayub. Mira membawa misi untuk membujuk Susila agar Susila mau mengaku agar tidak dibunuh. Namun Mira justru membelot dan menyuruh Susila kabur dari selnya.
Selain itu, terdapat pula adegan dimana Petugas Kepala menganggap Susila menjual barang-barang yang bersifat porno. Bukannya mengklarifikasi hal tersebut,iamalah memesan sebuah malajah porno dan mainan seks kepada Susila. Padahal Susila sudah menyatakaan bahwa ia menjual mainan anak-anak. Hal ini menggambarkan bahwa oknum-oknum tertentupun juga ada yang menyelewengkan wewenangnya untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri, padahal ia tahu bahwa hal itu dilarang dan tidak sepantasnya ia lakukan.
3.      Simbolisasi yang Terdapat dalam Penggambaran Tokoh Pembela
Yang bertindak sebagai pembela dalam sidang susila adalah Utami, yang merupakan seorang lulusan Fakultas Hukum dengan predikat suma cum laude. Utami sebenarnya merupakan keponakan Susila. Namun Utami tidak berani mengungkapkan identitasnya sebagai keponakan Susila karena ia harus menjaga dirinya supaya tetap terkesan bersih lingkungan, atau tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan terdakwa. Hal ini penting bagi Utami, agar ia bisa mengajukan pembelaan atas Susila.
Utami dengan gigih membela Susila karena ia tahu Susila sebenarnya tidak bersalah. Demi melakukan hal itu, ia habis-habisan mengajukan argumen-argumen yang meluruskan kesalahpahaman jaksa dengan Susila.
Tokoh Utami ini memberikan gambaran bahwa tidak semua orang di dunia ini memiliki pendapat yang sama. Tiap orang memiliki sudut pandangnya masing-masing, seperti Utami yang menganggap Susila tidak bersalah karena Susila memang tidak pernah melanggar Undang-undang Susila sebagaimana yang dituduhkan padanya.
Dalam persidangan, terdapat adegan dimana Pembela menyampaikan argumen dengaan cara dinyanyikan dan diiringi musik. Hal tersebut juga diikuti oleh lakon Jaksa. Bahkan, lakon Hakim yang seharusnya bisa mengembalikan suasana sidang juga ikut menikmati alunan musik tersebut. Padahal, dalam sidang di kehidupan yang sebenarnya, tentu sidang harus dilaksanakan dengan serius dan sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada. Hal ini menggambarkan sebuah pelaksanaan hukum yang tidak serius. Meskipun argumen yang disampaikan adalah argumen yang sifatnya serius, namun cara penyampaiannya lebih cocok untuk dikategorikan sebagai sebuah acara hiburan daripada sebuah acara sidang yang formal. Hukum masih dianggap sebagai sesuatu yang main-main.
4.      Simbolisasi yang Terdapat dalam Penggambaran Tokoh Hakim dan Jaksa
Tokoh hakim dalam lakon ini terasa memiliki hubungan atau kesepakatan khusus terkait dengan pelaksanaan sidang susila. Mereka tampak menggunakan kesepakatan itu untuk kepentingan mereka sendiri.
Persekongkolan antara tokoh Jaksa dan Hakim ini juga melibatkan tokoh lain, seperti petugas kemanan. Tujuan mereka sama : bekerja sama untuk memonopoli kebenaran agar Susila dapat dihukum mau mengaku bersalah. Mereka juga bekerja sama untuk menghentikan Utami dan pembelaannya terhadap Susila. Hal ini terbukti bahwa terdapat pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan pribadi di tengah peliknya situasi, bahkan bersedia memonopoli kebenaran demi mendapatkan hal itu.
Dalam naskah ini, terungkap pula bahwa tokoh Jaksa dan Hakim juga tidak luput dari pelanggarn Undang-undang Susila. Tokoh Hakim pernah terangsang di muka publik. Hal itu tak dibenarkan menurut Undang-undang Susila. Lalu tersirat bahwa tokoh Jaksa pernah memiliki hubungan khusus dengan Utami, namun hal itu jauh sebelum kasus Susila ini ada. Hal tersebut bermakna bahwa bahkan orang yang terlihat paling bersih,juga memiliki kesalahan dan catatan hitam dalam hidupnya.
Kesimpulan
Dalam naskah drama ini,nilai moralitas sangat jelas terlihat. Hal ini juga relevan dengan kondisi moral bangsa yang terkesan amburadul karena banyaknya oknum-oknum yang mengambil keuntungan pribadi tanpa peduli dengan dampaknya pada lingkungan sekitar.
Kerusakan moral yang terjadi dewasa ini sudah dapat dibilang cukup parah. Sikap masyarakat yang cenderung senang memberi label dan stereotip pada suatu hal tentunya sangat berpotensi memecah belah bangsa. Apalagi, hukum yang ada saat ini sifatnya cenderung dianggap masin-main juga dinilai kurang bisa memberikan solusi.
Namun, untuk mengatasi itu, hadir tokoh Susila dan Utami yang terus berjuang membela kebenaran, meski jalan yang ditempuh sangat sulit. Mereka inilah yang berani melawan stereotip dan gigih memperjuangkan moralitas yang sesungguhnya.


Daftar Pustaka
Luxemburg, Jan Van, dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Wellek, René dan Austin Warren. 2016. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Agus Noor Files | Dunia Para Penyihir Bahasa. 12 Desember 2007. Segera : “Sidang Susila” Teater Gandrik!. Diakses pada 25 Juni 2017. https://agusnoorfiles.wordpress.com/2007/12/12/segera-sidang-susila-teater-gandrik/

Bank Naskah Teater & Naskah Drama. 14 Mei 2010. Sidang Susila. Diakses pada 22 Juni 2017. bandarnaskah.blogspot.co.id/2010/05/sidang-susila.html?m=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar