Simbolisasi
Moralitas yang Tercermin Melalui Penokohan dalam Naskah Drama Sidang Susila
Oleh
:
Ika
Rahma Maulidina Yuliastuti
Departemen Sastra Indonesia
Fakultas
Ilmu Budaya
Universitas
Airlangga
Pendahuluan
Naskah drama “Sidang
Susila” merupakan buah karya Ayu Utami dan Agus Noor. Lakon ini dipentaskan
secara perdana oleh Teater Gandrik di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 21-23
Februari 2008.
Sidang
Susila merupakan sebuah lakon yang mengusung tema besar mengenai moralitas.
Lakon ini mengandung banyak simbolisasi dan metafora di dalamnya yang menggambarkan
sebuah upaya yang bertujuan untuk memonopoli kebenaran moral. Lakon ini juga menggambarkan
kondisi suatu bangsa dimana nilai moralitas menjadi sesuatu yang sensitif.
Tokoh jaksa dan hakim yang seharusnya bertugas untuk menggunakan wewenangnya
dengan baik untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, dalam naskah ini
digambarkan mereka menyelewengkan wewenangnya untuk kepentingannya pribadi,
dengan sengaja menyalahkan terdakwa. Hal ini tentunya sangat berlawanan. Tokoh
Susila, yang merupakan terdakwa, digambarkan bersalaah karena dianggap
melanggar Undang-undang Susila. Tuduhan itu disematkan
kepadanya sebagai bentuk penegakan terhadap Undang-undang Susila. Padahal,
tuduhan itu hanya dibuat untuk kepentingan beberapa golongan saja, dengan
mengatas namakan moralitas.
Sastra dan Simbolisasi dalam Karya
Sastra
Sastra adalah suatu
kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 1989 : 3).
Sastra merupakan sebuah
ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sang seniman
menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di alam semesta,
bahkan menyempurnakannya. (Luxemburg, dkk, 1984 : 5).
Berdasarkan dua konsep
di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa karya sastra merupakan bagian dari
karya seni yang terbentuk karena kreativitas. Dapat pula berarti bahwa karya
sastra merupakan sebuah proses penciptaan dan penyempurnan. Dalam prosesnya itu,
sang seniman tentunya tetap mempertahankan nilai estetika dari karya sastranya.
Unsur kreativitas dan spontanitas – biarpun tidak
terang-terangan – dewasa ini pun masih sering dijadikan pedoman (Luxemburg,
dkk, 1984 : 5).
Drama
merupakan salah satu dari tiga jenis sastra. Dua jenis lainnya adalah prosa dan
puisi. Selain merupakan jenis sastra, drama juga merupakan sebuah seni
pertunjukan. Drama dinilai sebagai sastra melalui naskah drama yang akan
dipentaskan. Sedangkan drama dinilai sebagai seni pertunjukan dari segi pementasan
naskah tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah dalam pementasan drama. Perbedaan
drama dengan kedua jenis lainnya terletak pada fungsi atau tujuannya. Jika karya
sastra prosa dan puisi ditulis untuk dinikmati sebagai teks, maka karya sastra naskah
drama ditulis untuk dipanggungkan atau dipentaskan.
Layaknya
dua jenis sastra lainnya, naskah drama juga memiliki nilai estetika. Nilai
estetika ini dapat dilihat dari gambaran penokohan, narasi, kramagung, maupun
dialog-dialog tokoh dalam naskah itu. Karena nilai estetik yang terdapat di
dalamnya, karya sastra berupa naskah drama ini perlu dikupas lebih dalam untuk
memahami makna di balik karya tersebut. Karya sastra memiliki banyak makna yang
terselubung di balik simbol-simbol yang diutarakan oleh sang seniman. Hal
itulah yang menjadikan sebuah karya sastra berbeda dengan karya nonsastra.
Dalam penelitian sastra yang bersifat hermeneutik (menerangkan teks) penafsiran
serta penilaian terhadap karya-karya sastra sendiri-sendiri justru menjadi
kancah perhatian (Luxemburg, dkk, 1984 : 3).
Garis Besar Naskah
Drama Sidang Susila
Dalam
drama Sidang Susila, suasana yang dihadirkan adalah suasana politik suatu
negeri yang sedang panas karena masalah moralitas dan nilai-nilai kesusilaan. Disebutkan
dalam sebuah laman web Agus Noor, garis besar lakon “Sidang Susila adalah
sebagai berikut :
Undang-Undang
Susila – yang mengatur soal moralitas dan susila masyarakat – ditetapkan secara
sah dan meyakinkan. “Dengan berlakunya Undang-undang Susila ini, maka secara
konstitusional kita telah menjadi bangsa yang bermoral dan bertata susila,”
demikian ditegaskan oleh tokoh Jaksa. Maka segeralah disusun Garis-garis Besar
Haluan Moral Negara, dimana segala macam bentuk pornografi dan pornoaksi akan
dihapuskan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Orde moral
atau rezim susila pun mulai mencengkeram dan menyeramkan.
Terjadilah
penangkapan besar-besaran terhadap orang-orang yang dianggap asusila.
Orang-orang yang dituduh menyebarkan pornografi pornoaksi, langsung diringkus.
Bahkan, orang-orang yang dianggap menyimpan pikiran-pikiran mesum pun
ditangkapi. Salah satu yang ditangkap dan menjadi pesakitan itu adalah Susila
Parna, seorang penjual mainan berbadan gendut dengan susu kimplah-kimplah.
Dia dituduh mempertontonkan tubuhnya yang sensual, ketika ia membuka baju
karena kepanasan sehabis ikut tayuban.
Segera
Susila di sidang, diperlakukan sebagai pesakitan yang menjijikkan. Dia dianggap
lebih berbahaya dari psikopat. Susila didakwa berlapis-lapis, agar masyarakat
tahu betaba berbahayanya penjahat susila seperti dia. Tapi sesuatu terjadi
diluar rencana. Banyak masyarakat yang kemudian menjadikan Susila sebagai ikon
perlawanan. Susila dianggap pembangkang yang berani menentang Undang-undang
Susila. Alih-alih menjadi pesakitan, dimata sebagian orang, Susila malah
dianggap idola.
Para
tokoh yang berkuasa kemudian menyebut-nyebut beberapa organisasi perlawanan,
berada di balik semua gerakan perlawanan itu. Ada dua organisasi perlawanan
yang dianggap menjadi biang kerusuhan moral, yakni GAM (Gerakan Anti Moralitas)
dan OPM (Organisasi Pendukung Maksiat) yang dianggap sebagai kelompok-kelompok
ekstrim yang asusila. Kepanikan kian memuncak ketika Susila Parna dikabarkan
kabur, menghilang dari selnya. Operasi pencarian dan penangkapan pun kian
diintensifkan. Setiap orang yang tertangkap dituduh menjadi bagian organisasi
terlarang itu. Mereka kemudian dianggap sebagai
penjahat moral menjijikkan yang terus-menerus merongrong stabilitas moral
negara. Hingga para warga takut berhubungan dengan para pesakitan itu, takut
terkena stigma tidak bersih lingkungan dan kehilangan pekerjaan.
Di
balik semua gegap-gempita itu, konflik kepentingan bermunculan. Semua tokoh –
seperti Hakim, Jaksa, Pembela, Kepala Keamanan – berusaha mencari kesempatan
dari “poyek susila” itu. Bahkan sebagian dari mereka berusaha menyembunyikan
perilaku amoral dan asusila mereka dengan kepura-puraan yang adil dan beradab. (Noor,
https://agusnoorfiles.wordpress.com/2007/12/12/segera-sidang-susila-teater-gandrik/,
akses 25 Juni 2017)
Simbolisasi yang Terdapat dalam
Penggambaran Tokoh dalam Naskah
1. Simbolisasi
yang Terdapat dalam Penggambaran Tokoh Susila
Dalam lakon,
digambarkan bahwa Susila adalah seorang penjual mainan anak-anak keliling yang
bertubuh tambun. Susila ditangkap setelah ikut manari tayub dan duduk dengan
membuka baju karena kelelahan dan kepanasan. Tokoh Susila dalam lakon iniditangkap
karena dituduh melanggar Undang-undang Susila karena melakukan pornoaksi dan
pornografi di hadapan publik. Ia dituduh mempertontonkan tubuhnya yang sensual.
Tentunya hal ini berseberangan dengan makna kata “susila” yang sesungguhnya.
Kata susila bermakna sopan dan beradab. Sedangkan perbuatan yang dituduhkan
pada tokoh Susila, sangat jauh dari makna kata tersebut.
Pada adegan interogasi
antara Susila dengan Petugas Keamanan, disebutkan bahwa nama lengkap Susila
adalah Susila Parna. Meskipun namanya terdengar seperti nama orang Sunda, ia
mengaku berasal dari Jawa, dan di Jawa namanya diucapkan sebagai Susilo Porno
atau Susilo Parno. Kata “porno” sendiri mengacu pada sesuatu yang cabul, dan
bersifat erotis. Sedangkan kata “parno” mengacu pada sifat paranoid, sebuah
penyakit jiwa yang membuat penderita memikirkan sesuatu yang bersifat khayal
secara berlebihan. Penggunaan bahasa-bahasa yang dipelesetkan ini mengandung
sindiran akan kondisi kesopanan yang sudah dinodai oleh sesuatu yang tidak
seharusnya. Menunjukkan bahwa saat ini, kesopanan sudah menurun nilainya dalam
masyarakat. Masyarakat dibayangioleh sifat paranoid yang berlebihan terhadap
nilai-nilai susila sehingga nilai moralitas menjadi sesuatu yang sangat
sensitif.
Tokoh Susila memiliki
sifat yang polos, lugu, namun teguh pada pendiriannya. Sifat lugunya terlihat
saat ia bertemu deengan Utami, keponakannya yang akan menjadi pembelanya dalam
persidangan. Utami menegaskan pada Susila untuk tidak menunjukkan sikap yaang
dapat membocorkan identitasnya bahwa ia masih memiliki hubungan kekeluargaan
dengan Susila. Namun karena keluguannya dan didukung kegembiraan Susila yang
meluap, ia tidak mengerti permintaan keponakannya itu. Ia tetap memanggil Utami
dengan sebutan”nduk”, bahkan selama persidangan.
Sifatnya yang teguh
pada pendirian terlihat saat Susila tidak terima dituduh bersalah dan tidak mau
disuruh membuat pengakuan palsu oleh petugas keamanan, karena ia memang merasa
tidak bersalah. Susila juga memiliki sifat yang kritis, terlihat dari caranya
menyampaikan argumen dalam persidangan kepada hakim, jaksa dan pembela. Hal ini
mencerminkan dan mengajarkan sikap untuk tetap gigih membela kebenaran,
meskipun sedang dalam kondisi terpuruk.
Namun, Susila juga
disebut sebagai seorang pesakitan oleh para petugas keamanan, jaksa dan hakim.
Ungkapan pesakitan ini merupakan bentuk peyorasi dari kata terdakwa. Maknanya,
Susila dianggap sebagai manusia yang sangat rendah dan tidak dihargai
kemanusiaannya. Meski demikian, Susila tidak pernah mempermasalahkan hal
tersebut.
2. Simbolisasi
yang Terdapat dalam Penggambaran Tokoh Petugas Keamanan
Sifat petugas keamanan
yang paling menonjol terlihat dari cara mereka memperlakukan Susila. Petugas yang menjaga sel Susila dinilai terlalu
berlebihan dalam menghadapi Susila. Seperti contohnya saat Susila merasa
kelaparan dan meminta makan. Petugas itu tidak berani menyerahkan langsung
ransum pada Susila karena takut tertular. Mereka menggunakan tongkat panjang
untuk memberikan ransum pada Susila. Bahkan, ketika tubuh mereka terpaksa
bersentuhan dengan Susila,mereka harus menyemprotkan antiseptik agar tidak
tertular virus porno dari Susila. Padahal Susila belum mendapatkan pernyataan
resmi bersalah. Tentu perbuatan seperti ini dianggap sangat berlebihan dan
tidak berperikemanusiaan. Para petugas juga tidak memperlakukan Susila dengan
baik dalam adegan interogasi. Pernyataan Susila tampak tidak disimak dengan
baik oleh para petugas itu, sehingga terjadi kesalahpahaman. Bahkan saat Susila
berusaha meluruskan kesalahpahaman itu, para petugas itu tidak mengindahkannya
dan menganggap apa yang mereka tangkap adalah fakta yang paling benar, dan
Susila hanya berusaha membelot.
Hal
ini menggambarkan kondisi masyarakat yang cenderung memberikan sebuah
justifikasi dan stereotip yang berlebihan terhadap sesuatu yang masih belum
tentu keebenarannya. Ketakutan ini menggambarkan bahwa masyarakat masih melihat
dari satu sisi yang paling menonjol menurut mereka, dan tidak berpikir untuk
mencari konfirmasi apakah informasi itu benar atau tidak sehingga timbullah
suatu bentuk pengucilan dari masyarakat. Sifat masyarakat yang seperti ini, tak
jarang pula melukai perasaan pihak yang dikucilkan.
Selain itu, Susila juga
disebut sebagai seorang pesakitan oleh para petugas keamanan, jaksa dan hakim.
Ungkapan pesakitan ini merupakan bentuk peyorasi dari kata terdakwa. Maknanya,
Susila dianggap sebagai manusia yang sangat rendah dan tidak dihargai
kemanusiaannya.
Para
petugas keamanan ini mengikuti perintah dari Hakim dan Jaksa. Terdapat satu
adegan dimana Petugas Kepala bersekongkol dengan Hakim untuk membujuk Susila
agar mau membuat pengakuan palsu, namun Susila tidak mau karena ia merasa tidak
bersalah. Hal itu menggambarkan kegigihan dalam membela kebenaran.
Para
petugas juga bersekongkol dengan Mira, seorang penari tayub. Mira membawa misi
untuk membujuk Susila agar Susila mau mengaku agar tidak dibunuh. Namun Mira
justru membelot dan menyuruh Susila kabur dari selnya.
Selain
itu, terdapat pula adegan dimana Petugas Kepala menganggap Susila menjual
barang-barang yang bersifat porno. Bukannya mengklarifikasi hal
tersebut,iamalah memesan sebuah malajah porno dan mainan seks kepada Susila. Padahal
Susila sudah menyatakaan bahwa ia menjual mainan anak-anak. Hal ini
menggambarkan bahwa oknum-oknum tertentupun juga ada yang menyelewengkan
wewenangnya untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri, padahal ia tahu bahwa
hal itu dilarang dan tidak sepantasnya ia lakukan.
3. Simbolisasi
yang Terdapat dalam Penggambaran Tokoh Pembela
Yang bertindak sebagai
pembela dalam sidang susila adalah Utami, yang merupakan seorang lulusan
Fakultas Hukum dengan predikat suma cum laude. Utami sebenarnya merupakan
keponakan Susila. Namun Utami tidak berani mengungkapkan identitasnya sebagai
keponakan Susila karena ia harus menjaga dirinya supaya tetap terkesan bersih
lingkungan, atau tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan terdakwa. Hal ini
penting bagi Utami, agar ia bisa mengajukan pembelaan atas Susila.
Utami dengan gigih
membela Susila karena ia tahu Susila sebenarnya tidak bersalah. Demi melakukan hal itu, ia habis-habisan mengajukan
argumen-argumen yang meluruskan kesalahpahaman jaksa dengan Susila.
Tokoh
Utami ini memberikan gambaran bahwa tidak semua orang di dunia ini memiliki
pendapat yang sama. Tiap orang memiliki sudut pandangnya masing-masing, seperti
Utami yang menganggap Susila tidak bersalah karena Susila memang tidak pernah
melanggar Undang-undang Susila sebagaimana yang dituduhkan padanya.
Dalam
persidangan, terdapat adegan dimana Pembela menyampaikan argumen dengaan cara
dinyanyikan dan diiringi musik. Hal tersebut juga diikuti oleh lakon Jaksa.
Bahkan, lakon Hakim yang seharusnya bisa mengembalikan suasana sidang juga ikut
menikmati alunan musik tersebut. Padahal, dalam sidang di kehidupan yang
sebenarnya, tentu sidang harus dilaksanakan dengan serius dan sesuai dengan
kaidah-kaidah yang ada. Hal ini menggambarkan sebuah pelaksanaan hukum yang
tidak serius. Meskipun argumen yang disampaikan adalah argumen yang sifatnya
serius, namun cara penyampaiannya lebih cocok untuk dikategorikan sebagai
sebuah acara hiburan daripada sebuah acara sidang yang formal. Hukum
masih dianggap sebagai sesuatu yang main-main.
4. Simbolisasi
yang Terdapat dalam Penggambaran Tokoh Hakim dan Jaksa
Tokoh hakim dalam lakon
ini terasa memiliki hubungan atau kesepakatan khusus terkait dengan pelaksanaan
sidang susila. Mereka tampak menggunakan kesepakatan itu untuk kepentingan
mereka sendiri.
Persekongkolan antara tokoh
Jaksa dan Hakim ini juga melibatkan tokoh lain, seperti petugas kemanan. Tujuan
mereka sama : bekerja sama untuk memonopoli kebenaran agar Susila dapat dihukum
mau mengaku bersalah. Mereka juga bekerja sama untuk menghentikan Utami dan
pembelaannya terhadap Susila. Hal ini terbukti bahwa terdapat pihak-pihak yang
ingin mengambil keuntungan pribadi di tengah peliknya situasi, bahkan bersedia
memonopoli kebenaran demi mendapatkan hal itu.
Dalam naskah ini,
terungkap pula bahwa tokoh Jaksa dan Hakim juga tidak luput dari pelanggarn
Undang-undang Susila. Tokoh Hakim
pernah terangsang di muka publik. Hal itu tak dibenarkan menurut Undang-undang
Susila. Lalu tersirat bahwa tokoh Jaksa pernah memiliki hubungan khusus dengan
Utami, namun hal itu jauh sebelum kasus Susila ini ada. Hal tersebut bermakna
bahwa bahkan orang yang terlihat paling bersih,juga memiliki kesalahan dan
catatan hitam dalam hidupnya.
Kesimpulan
Dalam
naskah drama ini,nilai moralitas sangat jelas terlihat. Hal ini juga relevan
dengan kondisi moral bangsa yang terkesan amburadul karena banyaknya
oknum-oknum yang mengambil keuntungan pribadi tanpa peduli dengan dampaknya
pada lingkungan sekitar.
Kerusakan
moral yang terjadi dewasa ini sudah dapat dibilang cukup parah. Sikap
masyarakat yang cenderung senang memberi label dan stereotip pada suatu hal
tentunya sangat berpotensi memecah belah bangsa. Apalagi, hukum yang ada saat
ini sifatnya cenderung dianggap masin-main juga dinilai kurang bisa memberikan
solusi.
Namun,
untuk mengatasi itu, hadir tokoh Susila dan Utami yang terus berjuang membela
kebenaran, meski jalan yang ditempuh sangat sulit. Mereka inilah yang berani
melawan stereotip dan gigih memperjuangkan moralitas yang sesungguhnya.
Daftar Pustaka
Luxemburg, Jan Van, dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Wellek, René dan Austin Warren. 2016.
Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Agus
Noor Files | Dunia Para Penyihir Bahasa. 12 Desember 2007. Segera : “Sidang Susila” Teater Gandrik!. Diakses pada 25
Juni 2017.
https://agusnoorfiles.wordpress.com/2007/12/12/segera-sidang-susila-teater-gandrik/
Bank Naskah Teater & Naskah Drama. 14 Mei 2010. Sidang
Susila. Diakses pada 22 Juni 2017. bandarnaskah.blogspot.co.id/2010/05/sidang-susila.html?m=1